Motto "Lestarikan Budaya Luhur Islam"

13 September 2012

Sejarah Islam Indonesia : Jejak Jihad Karto Suwiryo

Dalam sejarah politik nasional, nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak gelap. Bahkan ia diidentikkan dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa mistis. Buku-buku sejarah nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang “bermimpi’ mendirikan negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang.



Padahal Kartosuwiryo bukanlah tokoh yang garang atau misterius. Ia lahir dari keluarga yang jelas. Begitu juga pendidikan formal, profesi, dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh nasional seperti Abikusno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto, dan bahkan Soekarno.


Gambaran kelam soal Kartosuwiryo ini, muncul dari situasi yang disemaikan pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang berpaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia (NII).Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan “waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah”, juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo. 


Untuk memenuhi syarat sebagai “waliyyul amri”, Bung Karno mendirikan masjid Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan sebagai simbol semata agar rakyat menilainya sebagai pemimpin yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam  Sikap permusuhan terhadap Islamisme seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil tapi juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.

Sejarah hidup

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK). Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi.



Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Kedokteran Nederlands Indische Artsen School. Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.



Ketertarikan Kartosoewirjo untuk mempelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran politik yang tinggi.

Semasa kuliah di Surabaya inilah Kartosoewirjo banyak terlibat dalam organisasi pergerakan nasional seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond (JIB), dua organisasi pemuda yang berperan penting dalam Sumpah Pemuda 1928. Selain itu ia juga masuk Sjarikat Islam (SI) dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik HOS Tjokroaminoto yang sangat mengangan-angankan berdirinya sebuah baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur dan diridhoi Allah SWT). Ketika Syarikat Islam berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timur (PSIHT), Kartosoewirjo dipercaya memegang jabatan sekretaris jenderal. Saat itu usianya masih sangat muda, baru 22 tahun.


Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).


Kartosoewirjo amat kritis. Ia banyak menulis kritikan baik bagi penguasa pribumi maupun pemerintah kolonial di Harian Fadjar Asia, surat kabar tempatnya bekerja sebagai wartawan dan beberapa saat kemudian diangkat sebagai redaktur. Ketika Jepang menguasai Hindia Timur, seluruh organisasi pergerakan dibubarkan. Jepang hanya memperbolehkan beberapa organisasi yang dianggap tidak membahayakan kedudukan Jepang. Oleh karena itu PSIHT dibubarkan dan berganti menjadi Madjlis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI) pimpinan Wondoamiseno. Kala itu Kartosoewirjo menjabat sebagai sektretaris Majelis Baitul-Mal, organisasi di bawah MIAI.

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.

Pada masa perang kemerdekaan, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.

Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, sebuah sumber menyatakan bahwa sebenarnya Kartosoewirjo sudah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan sebuah negara Islam. Namun atas pertimbangan kebangsaan dan kesatuan ia mencabut kembali proklamasi tersebut dan bersedia turut menegakkan Republik Indonesia dengan syarat umat Islam Indonesia diberi kesempatan untuk menjalankan syariat Islam.


Hal ini sebagaimana tercantum dalam sila pertama Piagam Jakarta yang kemudian dihapus sehingga hanya menyisakan kalimat "Ketuhanan yang Maha Esa" saja.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut merupakan awal retaknya hubungan Kartosoewirjo dan Soekarno, teman seperguruannya semasa masih dididik oleh HOS Tjokroaminoto. Keduanya memang menunjukkan sikap dan prinsip politik berbeda.



Kartosoewirjo adalah seorang muslim taat yang mencita-citakan berdirinya negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan Soekarno nasionalis sekuler yang lebih mementingkan persatuan dan kesatuan Indonesia dengan Pancasila-nya. Hal ini membuat Kartosoewirjo selalu berseberangan dengan pemerintah RI. Ia bahkan menolak jabatan menteri yang ditawarkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.

Ketika wilayah Republik Indonesia hanya tinggal Yogyakarta dan beberapa karesidenan di Jawa Tengah sebagai hasil kesepakatan dalam Perjanjian Renville, Kartosoewirjo melihat peluang untuk mendirikan negara Islam yang dicita-citakannya. Maka iapun memprokamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat waktu itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda, sehingga klaim sejarah yang menyatakan bahwa Kartosoewirjo merupakan pemberontak Republik Indonesia seharusnya dipelajari kembali.

Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam negara federasi yang diakui kedaulatannya oleh Kerajaan Belanda itu, Republik Indonesia di Yogyakarta merupakan salah satu dari 16 negara federal anggota RIS. Soekarno terpilih sebagai presiden RIS, sedangkan jabatan presiden RI diserahkan pada Mr. Asa'at. Terbentuknya RIS secara otomatis membenturkan NII dengan RIS karena Negara Pasundan bentukan Belanda yang menguasai wilayah Jawa Barat merupakan anggota federasi RIS. Konfrontasi memperebutkan Jawa Baratpun meletus. RIS merasa berhak atas Jawa Barat berdasarkan hasil KMB, sedangkan NII bersikeras mereka lebih berhak karena telah lebih dulu memproklamasikan diri sebelum dibentuknya Negara Pasundan dan RIS.

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.


Perang NII-RIS berlangsung selama 13 tahun. Dalam masa 13 tahun itu RIS berubah bentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Negara Pasundan menjadi provinsi Jawa Barat. Hal ini membuat NII semakin terpojok karena dengan bentuk baru RIS tersebut NII seperti negara dalam negara

Pada akhirnya tentara NKRI berhasil menghabisi perlawanan NII, ditandai dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo selaku Imam Besar (presiden) NII di wilayah Gunung Geber pada 4 Juni 1962. Mahkamah militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan hukuman mati. Mantan aktivis, jurnalis, sekaligus ulama kharismatik itupun menghembuskan napas terakhirnya di depan regu tembak NKRI pada September 1962.



Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.

Sikap istiqamah yang ditunjukkan Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah digariskannya patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya sebagai orang pergerakan, apa pun ideologinya, dengan terlebih dahulu mengenyampingkan naluri sektarian yang ada pada dirinya.


.
Sumber : Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. KARTOSUWIRYO, oleh Irfan S.
Awwas, Wihdah Press, Yogyakarta, 1999.Gerakan Darul Islam selama ini dicap sebagai musuh bangsa paling berbahaya. Buku ini berupaya meluruskannya
isi Kajian (hapus ini jika ingin Posting artikel, tapi jangan Hapus Tulisan "Kirimkan ke teman anda sebagai file .Pdf)
Kirimkan Ke Teman anda Sebagai File .Pdf :
Send articles as PDF to

Para aktivis islam menghadapi era Globalisasi


1.    Membentuk qiyadah jama’iyah.
Di antara langkah-langkah aktifitas dakwah yang mempunyai target sasaran dan terfokus ialah membentuk qiyadah jama’iyah, yakni bertemunya para tokoh dakwah, ilmu dan pembaharu yang mukhlis dalam satu wadah amal Islami. Lalu mereka membentuk sebuah qiyadah jama’iyah yang mempunyai amir; yang di antara tugas utamanya adalah membuat konsep perjuangan yang memiliki tahapan-tahapan dan sasaran-sasaran; sebagai titik bertolak, bersandar, dan melangkah; hingga apabila mereka telah selesai menuntaskan satu tahapan, maka mereka mulai menginjak tahapan yang lain, demikian seterusnya. Hingga mereka mencapai sasaran terbesarnya, yakni menegakkan daulah Islam.

Membentuk qiyadah jama’iyah di kalangan ummat Islam merupakan satu keharusan fardhu syar’I berdasarkan dalil-dalil berikut:

Menurut perintah Rasul saw. Untuk beriltizam pada jama’ah:

“…wajib atas kalian berjama’ah, karena sesungguhnya syetan itu bersama orang yang sendirian, dan dia terhadap dua orang itu lebih jauh. Dan barangsiapa ingin memperoleh kenikmatan Jannah, maka hendaklah ia beriltizam pada jama’ah.”

Dan dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari sanadnya dari sahabat Hudzaifah, bahwasanya Hudzaifah pernah menanyakan kepada Rasulullah saw. Tentang kebaikan dan keburukan…dan akhirnya Hudzaifah bertanya, “Apakah setelah masa kebaikan itu ada masa keburukan?” Rasulullah saw. Menjawab, “Ya benar. Ada penyeru-penyeru di pintu neraka, siapa yang menyambut seruannya akan mereka lemparkan ke dalamnya.” Lalu Hudzaifah menanyakan lagi, “Wahai Rasulullah, sebutkan ciri-ciri mereka pada kami.” Beliau menjawab, “Mereka itu satu kulit dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Hudzaifah kembali bertanya, “Apa yang engkau perintahkan padaku jika aku dapati masa itu? Belau menjawab, “Engkau beriltizam daripada jama’atul muslimin dan imam mereka.”

Dating keterangan dalam hadits shahih, dari Nabi saw. Bahwasanya beliau pernah bersabda:

“Barangsiapa mati, sedangkan tidak terdapat pada lehernya bai’at, maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah.”

Menurut perintah Al-Qur’anul Karim yang menyuruh kaum muslimin untuk bersatu, berpegang pada tali Allah dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang beriman.

“Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (Ali Imran: 103).

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang berutung,” (Ali Imran: 104).

"Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi (penolong)nya, maka sesungguhnya partai Allah itulah yang meang,” (Al-Maa’aidah: 56).

Berdasarkan kaidah syar’i yang mengatakan:


“Sesuatu yang wajib itu tidak terlaksana kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib (hukumnya).”

Menegakkan hokum Allah di muka bumi adalah sebagian di antara tanggung jawab terbesar yang harus dipikul seorang muslim, dan membebaskan negeri-negeri Islam dan kemulhidan, kekufuran, kerusakan moral dan pendudukan musuh termasuk kewajiban yang paling suci di dalam Islam…, dan mengembalikan kesatuan Islam di bawah satu kepemimpinan termasuk cita-cita yang paling mulia. Inilah makna “Sesuatu yang wajib itu tidak terlaksana kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib hukumnya”, seperti yang dinyatakan oleh para ulama Ushul dan para Fuqaha’ Islam.

Dari nash-nash di atas menjadi jelaslah bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri dan untuk menolongnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin dan semuanya harus mempunyai keinginan yang kuat untuk membentuk jama’ah.

Maka langkah pertama dalam aktivitas dakwah yang terfokus adalah membentuk jama’ah islam dengan amirnya, pimpinan-pimpinannya dan anggota-anggotanya. Dengan qiyadah dan pemimpinnya, kaum muslimin bisa menghadapi pemerintah sekuler di negeri-negeri Islam. Dan dengan perantaranya, mereka bisa meriah kemenangan terbesar dalam menegakkan daulah Islam yang besar serta kejayaan yang kokoh. Dan yang demikian itu amat  mudah bagi Allah.

2.    Terjun ke medan Penyadaran

Setelah membentuk jama’ah Islam dengan amirnya di negeri-negeri Islam, langkah berikutnya adalah melakukan gerakan ta’rif (pengenalan), tabligh dan tau’iyah (penyadaran).

Hal yang perlu diketahui oleh para murabbi sebelum menyampaikan dakwah dan menyadarkan umat, mereka harus tahu dunia dimaa mereka hidup di dalamnya, tatanan-tatanan yang berlaku, madzhab-madzhab pemikiran yang dominan, factor-faktor penggerak, berbagai kekuatan yang bersaing di dalamnya, arus perlawanan yang timbul dan lainnya yang berkenaan dengan kondisi mad’u.

Sesungguhnya para du’at yang sadar, tidak akan berhasil dengan tau’iyahnya jika ia tidak mengetahui siapa yang mereka dakwahi, dan bagaimana cara mendakwahi mereka, bagaimana menentukan skala prioritas dan apa saja sarana yang dapat digunakan untuk menghadapi pemikiran-pemikiran yang sesat dan apa saja plot ghazwul fikri dan lainnya.

Du’at sadar dan bijak adalah sosok yang mengetahui seluk beluk kehidupan di sekelilingnya secara menyeluruh, sebelum ia mengenalkan dan mendakwahkan risalah Islam, dan ia mengenal kondisi dunia Islam dari ujung barat sampai ujung timurnya sebelum ia menyeru dan menerangkan, menuntun dan menyampaikannya. Jika ia bisa melakukan peranan itu, kemungkinan sambutan umat terhadapnya akan lebih dalam, kesan orang terhadap perkataannya akan lebih kuat, keterikatan emosi mereka terhadapnya akan lebih melekat dan kesuksesannya di dalam menjalankan tugas pengenalan dan penyadaran akan lebih maksimal dan optimal.

Dalil-dalil keutamaan para du’at yang terjun di medan tabligh dan tau’iyat:
  1. Tergolong umat yang terbaik, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Imran: 110.
  2. Menjadi saksi atas umat-umat yang lain, bedasarkan firman Allah dalam suratt Al-Baqarah: 143.
  3. Berada pada kedudukan yang paling tinggi, berdasarkan firman Allah dalam surat Fushilat: 33.
  4. Sebagai pewaris nabi, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh imam yang lima dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, Rasulullah saw. Bersabda, “Ulama itu adalah pewaris Nabi.”
  5. Penduduk langit dan bumi akan memintakan ampunan untuk mereka berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Umairah, “Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya, penduduk langit dan bumi hingga semut di liang persembunyiannnya dan ikan-ikan di lautan, semuanya bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
  6. Diperintahkan untuk mentaati mereka, setelah mentaati Allah dan Rasulnya. Berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa: 59.
  7. Pahala mereka tidak akan terputus dan berhenti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ash-Haabus Sunan, dari Nabi saw, “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka dia akan memperoleh pahala seperti pahalanya yang diterima oleh orang-orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.”

Apa sarana-sarana tabligh dan tau’iyah?

Sarana-sarana ini sangat banyak dan bermacam ragamnya, senantiasa berkembang dan sangat variatif, di antaranya adalah:
  1. Majelis-majelis pengajian umum
  2. Kaset ceramah
  3. Buku-buku Islami
  4.  Seminar-seminar
  5. Khutbah-khutb Jum’at
  6. Majalah-majalah Islam, bulletin-buletin dakwah, dan selebaran-selebaran penebar fikrah Islami.
  7. Sarana I’dad
  8. Menghidupkan malam-malam yang penuh barakah di sepanjang tahun
  9. Nasyid-nasyid dakwah dan tarikh
  10.  Drama-drama Islam dan sejarah
  11. Dan sarana dakwah lain yang menyebarkan kesadaran Islam, menjelaskan fikrah Islam secara utuh tentang alam semesta dan manusia.

Bagaimana dengan memahami lingkungan?

Jama’ah yang terjun di kancah ishlah dan tau’iyah haruslah mempelajari lingkungan dimana mereka menyerukan dakwah mereka secara proporsional dan menyeluruh, harus mengetahui sarang-sarang kesesatan dan tempat-tempat penyimpangan dengan pengetahuan yang utuh dan menyeluruh dan mereka harus memikirkan juga metode kerja yang sesuai dengan logika manusia dan persiapan mereka dan selaras dengan tingkat pemikiran mereka dan kadar sambutan mereka. Untuk itu harus dilakukan studi khusus yang terfokus terhadap berbagai problematika ummat.

Langkah kedua dalam aktifitas dakwah yang terfokus adalah terjun di medan dakwah dan tau’iyah setelah mengadakan kajian secara seksama terhadap lingkungan, mengetahui secara lengkap sarana-sarana yang bisa digunakan untuk media dakwah dan tau’iyah, serta tujuannya untuk memperoleh pahala dari Allah.

3.    Pemfokusan Upaya Tarbiyah dan I’dad.

Dasar dalam persoalan ini adalah firman Allah, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggetarkan musuh Allah dan musuh-musuh kalian,” (Al-Anfaal: 60).

Termasuk pengertian ayat di atas yaitu apa saja yang dikandung oleh kata I’dad berupa sarana-sarana amal, tahapan-tahapan, di dalam pembentukan generasi Islam, takwinul jama’ah Islam dan menyiapkan para pemuda yang memiliki kecakapan untuk menghadapi pemerintah sekuler di negeri-negeri Islam.

Termasuk pengertian tarbiyah dan I’dad adalah:
1.    Membekali akal dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan syumul, serta wawasan yang obyektif dan kritis.
2.    Melatih phisik dengan latihan-latihan kemiliteran (askari) dan keperwiraan serta sarana-sarana untuk menghadapi tantangan dan jihad.
3.    Membekali ruhani dengan iman, tilawah Al-Qur’an dan ibadah yang ikhlas.
4.    Melatih dan membiasakan diri untuk senantiasa mendengar dan taat dalam keadaan sulit maupun lapang, suka maupun duka.
5.    Menghubungkan (merekrut) para pemuda muslim yang sadar dengan jama’ah Islam yang benar dan ikhlas.
6.    Serta persiapan-persiapan lain yang seyogyanya digemblengkan kepada generasi muda dan putra-putra Islam.

Untuk itu, hendaknya para murabbi terfokus pada upaya tarbiyah dan I’dad yang meiliputi tiga unsur:
1.    Tarbiyah Ruhiyah.
2.    Tarbiyah Nafsiyah.
3.    Tarbiyah Judiyah (askariy).
Sumber: Diringkas dari kitab Asy-Syabab al-Muslimu Fii Muwaajahati at-Tahaddiyaati, atau Aktivis Islam Menghadapi Tantangan Global, karya: Dr. Abdullah Nashih 'Ulwan, terj. Abu Abu Abida al-Qudsi (Pustaka Al -'Alaq, 2003), hlm. 208-218..

isi Kajian (hapus ini jika ingin Posting artikel, tapi jangan Hapus Tulisan "Kirimkan ke teman anda sebagai file .Pdf)
Kirimkan Ke Teman anda Sebagai File .Pdf :
Send articles as PDF to

Blog Archive

Download Ebook Islam Terlengkap

Statistik

.