Motto "Lestarikan Budaya Luhur Islam"

10 Juni 2011

5 Pilar Islam


عن أبي عـبد الرحمن عبد الله بن عـمر بـن الخطاب رضي الله عـنهما ، قـال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسـلم يقـول : بـني الإسـلام على خـمـس : شـهـادة أن لا إلـه إلا الله وأن محمد رسول الله ، وإقامة الصلاة ، وإيـتـاء الـزكـاة ، وحـج البيت ، وصـوم رمضان

Dari Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab radhiallahu 'anhuma berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda: "Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah secara benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan".

Penjelasan:

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu

Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, 

“Islam ini dibangun di atas lima perkara: 
(1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat,
(3) menunaikan zakat, 
(4) pergi haji ke baitullah, dan 
(5) berpuasa pada bulan Romadhon.” 

(HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau,  

“Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, 
“Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, 
kemudian Engkau mendirikan sholat, 
kemudian Engkau menunaikan zakat, 
kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, 
kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.
” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab,
“Engkau beriman kepada Allah, 
malaikat-Nya, 
kitab-Nya, 
utusan-Nya, 
hari akhir dan 
Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)


Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati.

Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:

1.      Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

2.      Menegakkan sholat.

3.      Menunaikan zakat.

4.      Berpuasa pada bulan Romadhon.

5.      Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik)

Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. 

Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,

هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. 

Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.

Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat 

Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam dari diri seseorang. 

Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang muslim memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini dalam seluruh waktu dan kehidupannya.  

Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu.

Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak muncul keyakinan tersebut. Allah berfirman:

إِذَا جَاءكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah bukanlah kalimat yang ringan dan sepele. Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat ini.
Bahkan Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)

Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna: لَا مَعْبُوْدَ حَقٌ إِلَا اللهُ “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain sebagainya.

Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.

 فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat pada mereka ketika datang azab Allah.

Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya.

Di antara penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam. Dalam kalimat لا اله إلا الله terkandung dua aspek yang sangat penting. Yang pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata لا اله (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain Allah, apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An Nafyu (النفي). Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلا الله (kecuali Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah semata.

Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (الإثبات). Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”.

Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang ada yang disembah manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya. Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.

Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,

 وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)

 Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لا اله إلا الله tersebut kekal untuk keturunannya.

 Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

 لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

 Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

 هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)

 Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah.

 Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.

Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya tersebut tidaklah sah.

Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan lain sebagainya. Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa.

 Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).

Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat

Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya yang memisahkan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu seorang muslim haruslah memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah sholat bahkan terkadang lalai dari mengerjakannya.
Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً


“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)

Pada firman Allah,

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian pada firman-Nya,

وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً

“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Adapun seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513 ).
Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perintahkanlah anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat

Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau membayar zakatnya,

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku adalah hartamu.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,


وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ


“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)


Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan


Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika kalian berpuasa, maka janganlah kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak. Jika ada yang menghina kalian atau memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa” sebanyak dua kali. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada hari kiamat nanti. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak bisa masuk. Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu

Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِي

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka jauhilah.” (HR. Muslim).

Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal yaitu:
Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)

Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena menunaikan haji padahal kondisi tidak aman adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.
Penutup

Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal dengan rukun Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…
Rujukan:
1.      Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh
2.      Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al Watr
3.      Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi
4.      Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
***
Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)
sumber : Muslim Site


Tanggung Jawab Kedua Orang Tua serta Para Pengajar kepada Anak didik


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)

Seorang ibu, ayah, serta pengajar, akan ditanya di hadapan Allah tentang pendidikan generasi ini. Apabila mereka baik dalam mendidik, maka generasi ini akan bahagia dan begitu pula mereka juga akan bahagia di dunia dan akhirat. Namun, apabila mereka mengabaikan pendidikan generasi ini, maka generasi ini akan celaka, dan dosanya akan ditanggung oleh pundak-pundak mereka. Oleh karena itu dikatakan dalam sebuah hadits,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya” (Muttafaqun ‘alaihi).
Berita gembira bagimu wahai para pengajar, dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam,
فَوَاللهِ لَيَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ خُمْرِ النَّعَمَ
Demi Allah, jika Allah menunjuki seseorang lewatmu, ini lebih baik daripada unta-unta merah”
Berita gembira bagi kalian berdua wahai ayah dan ibu, dengan sebuah hadits yang shahih:
اِذَ مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal, maka amalannya terputus kecuali tiga perkara. Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim).
Wahai para pengajar, hendaknya engkau memperbaiki dirimu terlebih dahulu. Kebaikan menurut anak-anak adalah apa-apa yang engkau lakukan. Sebaliknya, keburukan menurut mereka adalah apa-apa yang engkau tinggalkan. Baiknya perilaku pengajar dan kedua orang tua di hadapan anak-anak merupakan sebaik –baiknya pendidikan bagi mereka.
Kewajiban para Pendidik dan Pengajar
1. Mengajari anak-anak ucapan “Lailaha illallah Muhammadur Rasulullah”, serta memahamkan kepadanya makna kalimat tersebut ketika dia besar, yaitu “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah”.
2. Menanamkan rasa cinta serta keimanan kepada Allah di dalam hati anak karena Allah semata-lah yang telah menciptakan, memberi rezeki dan menolong kita. Tak ada sekutu bagi-Nya.
3. Mengajari anak-anak untuk meminta serta memohon pertolongan hanya kepada Allah karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putra pamannya,
إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, memohonlah kepada Allah” (HR. At- irmidzi dan beliau berkata haditsnya hasan shahih).
Memperingatkan dari Perkara-Perkara yang Diharamkan
1. Memperingatkan anak-anak dari kekafiran, celaan, laknat serta perkataan yang kotor serta memahamkan mereka dengan lemah lembut bahwa kekafiran itu menyebabkan kerugian serta masuk ke dalam neraka. Dan hendaknya kita menjaga lisan kita di hadapan mereka agar kita menjadi teladan yang baik bagi mereka.
2. Memperingatkan dari perbuatan syirik kepada Allah: Yaitu beribadah kepada selain Allah, misalnya kepada orang-orang yang telah mati, meminta pertolongan kepada mereka. Mereka itu hanyalah hamba yang tidak berkuasa atas kemudharatan serta kemanfaatan. Allah ta’ala berfirman:
{وَلاَ تَدْعُ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَنفَعُكَ وَلاَ يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ}
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (Yunus: 106)
3. Memperingatkan anak-anak dari judi dengan berbagai macam jenisnya seperti lotere, meja judi, dan yang selain itu meskipun hal tersebut hanya sebagai hiburan. Karena perkara itu mengarah kepada taruhan, menyebabkan permusuhan, serta merupakan kerugian bagi diri, harta dan waktunya dan akan menyia-nyiakan shalat.
4. Melarang anak-anak dari melihat membaca majalah-majalah cabul, gambar-gambar yang telanjang serta kisah-kisah kriminal dan kisah-kisah berbau seks. Juga melarang mereka dari film-film di bioskop dan televisi karena akan membahayakan akhlaq serta masa depan mereka.
5. Memperingatkan mereka dari bahaya merokok dan memahamkan mereka bahwa para dokter telah sepakat bahwa rokok tersebut membahayakan jasmani, menyebabkan kanker, merusak gigi, menyebabkan bau tak sedap, merusak paru-paru. Tidak terdapat satu manfaat pun di dalam rokok. Maka haram menghisap serta membelinya. Sarankan baginya untuk mengkonsumsi buah atau cemilan untuk menggantikan rokok tersebut.
6. Membiasakan anak-anak dengan sifat jujur dalam perkataan serta perbuatan dengan cara kita tidak berdusta kepada mereka meskipun cuma bercanda. Jika kita berjanji kepada mereka, maka penuhilah janji tersebut. Di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذِبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda munafiq itu ada tiga: Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia tidak tepati, dan jika diamanahi maka dia berkhianat” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
7. Tidak memberi makan anak-anak kita dengan harta yang haram seperti sogokan, riba, harta curian dan harta yang didapat dari menipu. Ini merupakan sebab keburukan, kebandelan serta kemaksiatan mereka.
8. Tidak mendoakan anak dengan kecelakaan dan kemurkaan karena doa itu akan dikabulkan meski itu kebaikan maupun keburukan. Terkadang doa kejelekan itu akan menambah kesesatan bagi diri mereka. Sebaiknya kita katakan kepada anak kita, “Ashlahakallah (semoga Allah memperbaikimu)”.
Mengajari Shalat
1. Wajib mengajari shalat kepada anak, laki-laki dan perempuan di masa kecil mereka sehingga mereka terbiasa ketika besar karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sebuah hadits shahih:
عَلِّمُوْا اَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغُوْا سَبْعًا وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا إِذَا بَلَغُوْا عَشْرًا وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Ajari anak-anak kalian shalat jika usianya sudah tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika telah mencapai usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya Al-Albani).
Bentuk pengajarannya bisa lewat berwudhu dan shalat di hadapan mereka serta pergi ke masjid bersama mereka. Bisa juga dengan mendorong mereka untuk mempelajari buku-buku pelajaran shalat untuk mengajari seluruh anggota keluarga tentang shalat. Ini adalah perkara yang diinginkan dari seorang pengajar dan kedua orang tua. Setiap peremehan terhadap perkara ini akan ditanya oleh Allah kelak.
2. Mengajarkan Al-Quran Al-Karim kepada anak-anak. Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits.
3. Menyemangati anak-anak untuk shalat Jum’at dan shalat jama’ah di masjid dengan posisi di belakang laki-laki dewasa. Dan hendaknya berlemah lembut dalam menasihati mereka jika mereka tersalah. Jangan membentak dan mencela mereka, khawatirnya mereka akan meninggalkan shalat dan setelah itu kita akan berdosa.
4. Membiasakan anak-anak untuk berpuasa ketika berusia tujuh tahun agar kelak mereka terbiasa ketika dewasa.
Penutup Kepala dan Hijab
1. Memberikan dorongan kepada anak perempuan dalam mengenakan penutup saat mereka kecil agar mereka terbiasa ketika besar. Jangan memakaikan kepada mereka pakaian yang pendek. Jangan pula kenakan celana panjang atau kemeja, karena hal tersebut meniru laki-laki dan orang-orang kafir. Ini juga merupakan sebab pengaruh negatif bagi para pemuda. Dan wajib bagi kita memerintahkan untuk mengenakan kerudung di atas kepalanya ketika dia berusia tujuh tahun serta menutup wajahnya ketika telah dewasa dan menggunakan pakaian hitam yang panjang, menutupi dan lebar yang menjaga kemuliaannya. Dan Al-Quran Al-Karim menyeru seluruh wanita mu’minat untuk berhijab, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59).
Dan Allah ta’ala melarang wanita mu’minat untuk berhias dan memperlihatkan wajahnya. Dia berfirman,
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (Al-Ahzab: 23)
2. Menasihati anak-anak untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan jenis kelaminnya agar membedakan diri dari jenis kelamin lawannya serta dari pakaian asing dan model-modelnya seperti celana yang ketat. Begitu juga dengan budaya-budaya yang membahayakan. Di dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah bersabda,
لعن النبي صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال ، ولعن المخنثين من الرجال ، والمترجلات من النساء
“Nabi melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki. Juga melaknat para banci dari kalangan pria serta wanita yang bertingkah seperti laki-laki.” (HR. Al-Bukhari).
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)
Akhlaq dan Adab
1. Membiasakan anak menggunakan tangan kanan ketika menerima dan memberi, makan dan minum, menulis, serta menghidangkan jamuan. Mengajarkan mereka untuk mengucapkan bismillah pada setiap kali memulai setiap pekerjaan, khususnya untuk makan dan minum hendaknya dia lakukan dalam keadaan duduk dan mengucapkan alhamdulillah ketika selesai.
2. Membiasakan anak untuk bersih, memotong kuku, dan mencuci tangan sebelum makan dan setelahnya. Mengajari mereka istinja’ (bercebok) dan mengambil tisu setelah buang air untuk membersihkan kotoran atau mencuci dengan air agar sah shalatnya dan tidak menajisi pakaiannya.
3. Hendaknya berlemah lembut dalam menasihatinya dengan diam-diam, dan tidak mengumbar kesalahannya. Apabila dia membandel, maka kita tidak mengajaknya bicara selama tiga hari dan tidak ditambah.
4. Memerintahkan anak-anak untuk diam saat terdengar adzan dan menjawab ucapan muadzin dengan semisal apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawat kepada Nabi dan mengucapkan doa wasilah,
اَللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ اَلدَّعْوَةِ اَلتَّامَّةِ, وَالصَّلَاةِ اَلْقَائِمَةِ, آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ, وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا اَلَّذِي وَعَدْتَهُ
“Ya Allah, Rabb pemilik panggilan yang sempurna ini dan shalat yang ditegakkan. Berikanlah Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah untuknya tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan”. (HR. Al-Bukhari).
5. Hendaknya kita menyediakan tempat tidur yang terpisah bagi masing-masing anak jika memungkinkan. Kalau tidak bisa, maka pisahkan selimutnya. Dan yang lebih utama adalah mengkhususkan kamar bagi anak perempuan dan kamar khusus bagi anak laki-laki. Ini akan menjaga akhlaq serta kesehatan mereka.
6. Membiasakannya untuk tidak membuang sampah di jalan serta menyingkirkan apa yang mengganggu di jalan tersebut.
7. Memperingatkan dari genk-genk yang buruk serta mengawasi mereka dari nongkrong di jalan.
8. Memberikan salam kepada anak-anak di rumah dan di jalan dan menebarkannya dengan lafazh “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
9. Berwasiat kepada anak-anak untuk berbuat baik kepada tetangganya dan tidak memusuhi mereka.
10. Membiasakan anak untuk memuliakan tamu, menghormati serta berusaha menjamunya.
Jihad dan Keberanian
1. Menyediakan waktu khusus untuk duduk bersama keluarga serta para murid dan membacakan buku tentang sirah Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam serta sirah shahabatnya. Agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri kita. Ini merupakan sebab datangnya hidayah Allah kepada kita. Mereka ditolong dengan sebab keimanan dan peperangan mereka, pengamalan mereka terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, serta akhlak mereka yang tinggi.
2. Mendidik anak-anak agar berani, beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap.
3. Menanamkan pada anak-anak dendam kesumat kepada Yahudi dan orang-orang zhalim. Pemuda-pemuda kita akan membebaskan Palestina dan Al-Quds ketika mereka kembali mempelajari Islam dan berjihad di jalan Allah dan mereka akan ditolong dengan seizin Allah.
4. Memberi kisah-kisah pendidikan Islam yang bermanfaat seperti serial kisah Al-Quran Al-Karim dan sirah nabawiyah serta tokoh-tokoh sahabat dan para pahlawan muslim seperti kitab:
1. Asy-Syama’il Muhammadiyah wal Akhlaqun Nabawiyah dan Adab Al-Islamiyah
2. Min Bada’il Qashash An-Nabawi Ash-Shahih
Bersikap Adil dalam Pemberian kepada Anak-anak
1. Dari Nu’man bin Basyir, beliau berkata, “Ayahku memberikan sebagian hartanya kepadaku, maka ibuku (Umarah bintu Rawahah) berkata, “Aku tidak ridha sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyaksikannya. Maka ayahku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mempersaksikan pemberian tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau membagikannya kepada seluruh anakmu?” Ayahku menjawab, “Tidak”. Rasulullah bersabda, “Bertaqwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anak kalian”. (Muttafaqun alaihi).
Di dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kalau begini, janganlah engkau minta aku mempersaksikannya, karena sesungguhnya aku akan menyaksikan sesuatu yang rusak”. (HR. Muslim dan An-Nasa’i).
2. Berpeganglah dengan keadilan –wahai saudaraku muslim- di antara anak-anakmu di dalam pemberian dan wasiat. Janganlah engkau mengharamkan (tidak memberi) hak warisan seseorang pun dari anakmu. Bahkan hendaknya engkau ridha dengan apa yang Allah tentukan dan membaginya. Jangan mengutamakan hawa nafsu dan kecenderungan hati kepada sebagian ahli waris dan tidak kepada sebagian lainnya, karena ini akan membawamu masuk ke dalam api neraka. Betapa banyak orang yang menentukan harta mereka hanya untuk sebagian ahli waris mereka, sehingga muncullah dendam dan kebencian di antara para ahli waris. Ini menyebabkan mereka pergi ke pengadilan serta menghabiskan harta-harta mereka untuk para hakim dan pengacara.
(Diterjemahkan dari Kitab Kaifa Nurabbi Auladana karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, penerjemah: Abu Umar Al Bankawy, muraja’ah: Al Ustadz Ali Basuki)

sumber : ulama sunnah

Blog Archive

Download Ebook Islam Terlengkap

Statistik

.